Kamis, 29 Desember 2011

Memberikan secercah harapan kepada penderita Thalassaemia

Sudah pernah ditusuk jarum suntik? Atau mendapat infus di rumah sakit?
Sebagai perawat, memang saya lebih sering menyuntik dan menginfus pasien-pasien saya dibandingkan mengalaminya sendiri.
Hal yang paling rumit adalah ketika yang dihadapi adalah pasien anak-anak, selain pembuluh darah yang kecil, mereka pasti akan meronta-ronta ketika akan diintervensi.

Pengalaman praktek yang paling berkesan saat saya masih mahasiswa adalah ketika di bangsal anak. Selain kemampuan klinis yang harus dikuasai, saya juga dituntut mampu untuk berkomunikasi dengan bahasa mereka agar lebih kooperatif. Setelah beberapa lama praktek di tempat tersebut, saya perhatikan diagnosa yang paling sering keluar masuk adalah Thalassaemia. Saya takjub melihat anak-anak yang sudah biasa keluar masuk rumah sakit untuk di-"charge" terlihat sangat biasa dengan jarum suntik, sebagian besar mereka bahkan tidak menangis saat jarum tersebut masuk ke tubuh mereka.

Dari wawancara dengan keluarga, kebanyakan mereka mengetahui anaknya terkena Thalassaemia adalah saat usianya dibawah 1 tahun, kurang lebih 7 bulan. Bisa dibayangkan bagaimana tubuh kecil mereka mendapat suntikan berkali-kali setiap bulannya sejak umur 7 bulan.

Penderita Thalassaemia memang harus mendapatkan transfusi darah untuk melangsungkan hidup mereka. Bagaimana tidak, mereka mengalami gangguan sel darah yang mengharuskan jarum dan darah menjadi bagian hidup mereka seumur hidup. Saya masih sangat ingat kejadian di lebaran tahun 2008 dimana salah satu pasien, yang telah menjadi sahabat kecil saya, meninggal karena minimnya persediaan darah di rumah sakit tersebut. Pengalaman di rumah sakit tersebut membuat saya ingin mendonorkan darah dan juga mendorong saya untuk menginformasikan pentingnya donor darah ke orang-orang terdekat.

Mungkin banyak diantara kita yang belum begitu mengerti mengenai Thalassaemia. Berikut adalah sedikit informasi mengenai penyakit tersebut.

Thalassaemia

Talasemia adalah kelainan yang disebabkan oleh penurunan sintesis rantai globin sehingga mengakibatkan anemia hemolitik (Hinchliff, 1999).

Talasemia merupakan penyakit anemia hemolitik dimana terjadi kerusakan sel darah merah di dalam pembuluh darah sehingga umur eritrosit menjadi pendek (kurang dari 100 hari) (Ngastiah, 2005).

Klasifikasi:
1. Talasemia α (gangguan pembentukan rantai α)
2. Thalasemia β (gangguan pembentukan rantai β), dibagi menjadi 3 bentuk, yaitu:
à heterozigot: thalasemia minor & thalasemia trait
à thalasemia intermediate
à homozigot: thalasemia mayor (anemia cooley)
3. Thalasemia γ (gangguan pembentukan rantai γ)

Insiden
• Thalasemia lebih sering terjadi pada populasi mediteranian, keturunan Afrika dan Asia.
• Di Indonesia lebih sering ditemukan jenis thalasemia β.
• Menurut penelitian, di Indonesia gen thalasemia berkisar 3-10%, artinya diperkirakan 2000 kasus thalasemia baru dilahirkan setiap tahunnya.


Manifestasi klinis (Hockenberry, 2003):
1. Anemia (Sebelum diagnosa):Pucat, Demam yang tidak diketahui penyebabnya, Nafsu makan berkurang
2. Progresif anemia: Hipoksia, Nyeri kepala,Nyeri dada dan tulang,Penurunan toleransi aktivitas, Lesu, Anoreksia, Perkembangan alat reproduksi terhambat, Perkembangan fisik/tinggi tidak sesuai umur, Bentuk muka mongoloid (hidung pesek tanpa pangkal hidung, jarak kedua mata dan tulang dahi lebar, penonjolan kepala dan gigi), Ikterus
3. Efek transfusi: Hemosiderosis (penimbunan besi dalam tubuh seperti hati, limpa, jantung, kulit, kandung empedu, pankreas) sehingga dapat mengakibatkan perut membuncit. Warna kulit kelabu akibat penimbunan besi pada kulit

Terapi:
• Tranfusi darah
• Diuretik dan digitalis
• Desferoxamine (untuk mengikat zat besi)
• Splenectomy

Daftar Pustaka
Hinchliff, S. (1999). Kamus Keperawatan. Jakarta: EGC
Hockenberry. (2003). Nursing care of infants and children. (7th ed). St. Louis, Missouri: Mosby, inc
Ngastiyah. (2005). Perawatan anak sakit. (Edisi 2). Jakarta: EGC




Ada hal yang sangat saya ingat saat berinteraksi dengan anak-anak Thalassaemia. Salah satu anak mengatakan tidak mau sekolah lagi karena di sekolah dia dikata-katai hamil oleh teman-temannya. Ini adalah salah satu efek samping dari transfusi darah, dimana limpa akan membesar, sehingga membuat abdomen terlihat membesar. Beberapa diantara pasien di sana memang saya tahu tidak sekolah lagi karena mereka tidak kuat dengan pelajaran di sekolah.

Efek samping yang lain dari transfusi darah adalah penumpukan zat besi di dalam tubuh dan membuat kulit menghitam. Untuk mengeluarkan besi dari jaringan tubuh diberikan iron chelating agent, yaitu Desferal dibawah kulit dari suatu pompa kecil 5-7 malam setiap minggunya (http://www.thalassaemia-yti.net/category/tentang-thalassaemia/). Alat (pompa) yang digunakan untuk mengeluarkan zat besi berlebih disebut SYRINGE PUMP. Dengan banyaknya penderita Thalassaemia yang berasal dari keluarga tidak mampu, Syringe Pump menjadi hal yang cukup mustahil untuk dapat mereka beli karena harganya yang cukup mahal (http://lovedonation.tumblr.com/post/14562252729).


Beberapa jam yang lalu, saya mengecek timeline di twitter dan saya mendapat informasi kegiatan sosial untuk penderita Thalassaemia. Ini membuat memori saya saat praktek muncul kembali, dan juga menimbulkan keinginan untuk sharing pengalaman di blog dan media sosial.

Divisi Energy - Young On Top Mengetuk pintu hati teman-teman untuk mau membantu saudara kita dalam Donasi yang akan disumbangkan ke Yayasan Thalassaemia Indonesia untuk pembelian SYRINGE PUMP yang sangat dibutuhkan oleh para penderita.

Cara membantu:
Melakukan transfer ke Rekening BCA

536-011-0399
a/n Yayasan Solidaritas Anak Terlantar
BCA Cabang Menara Bidakara

Seluruh donasi yang terkumpul akan diserahkan kepada Yayasan Thalassaemia pada saat acara puncak:

Love Donation 2012
Tanggal 11-12 Februari 2012 di Grand Indonesia Shopping Town Level 5.
Save the date and come!

Informasi bisa dilihat di:
http://lovedonation.tumblr.com/post/14562252729



Akhir kata, mari kita berbagi hidup dengan yang lain.
YOUR TRUE LOVE SAVE PEOPLE’S LIFE



Dibawah ini adalah beberapa foto saat saya praktek bersama beberapa anak penderita Thalassaemia.





Selasa, 06 Desember 2011

Making "INKE"

Tinggal di daerah yang notabene bukan tempat tinggal kita memang tidak mudah. Apalagi dalam jangka waktu yang lama. Makanya harus ada sesuatu yang membuat kita betah tinggal di tempat tersebut.

Ende, khususnya Nangapanda, bukanlah kampung halaman gw, bukan juga tempat tinggal gw, namun di daerah inilah tempat tinggal gw selama beberapa bulan. Banyak hal menarik ditemukan disini, diantaranya pemandangan yang sangat indah dan budaya yang menarik. Hal2 inilah yang lumayan bisa bikin betah tinggal disini :)

Pemandangan yang gw suka di Ende terutama adalah pantainya, indah banget...

Salah satu budaya yang gw temukan disini adalah pada saat pesta pernikahan, yang biasanya resepsi diadakan di rumah mempelai (disini, a.k.a Nangapanda, gak ada gedung pertemuan buat nikahan). Biasanya sih diadainnya malam hari, karena waktu dua kali dateng acara nikahan diadainnya pas malam hari. Trus biasanya acara dimulai dengan sambutan2 dan kata2 pengantar dari MC, dll (lainnya lupa, ehhe). Uniknya acara ini bisa 1-2 jam-an, weww....tamunya sabar2 banget, padahal perut udah keroncongan *pengalaman pribadi* :D

Nah kalo udah mau masuk ke sesi makan, biasanya diatur dari baris yang mana dulu, gak kayak resepsi nikahan yang biasa di jakarta, blom salaman org2 udah pada ke loket2 makanan, haha...disini salam2an dulu semua, baru deh ke meja makannya ngantri per baris, ckckckkc...hebat...

Yang uniknya lagi, ada piring khusus yang biasanya digunakan di pesta2 pernikahan, namanya INKE, mudah2an gak salah ketik. Dibuatnya dari ranting daun kelapa (haduh...apa ya sebutannnya? weewwww)... Nah, hari ini khusus gw berguru pada salah satu anak SMPN 1 Nangapanda, a.k.a jen... Dia lihai banget buat INKE. Pembuatan INKE juga masuk dalam salah satu keterampilan di sekolah2 di sekitar sini.

Mau lihat contohnya?

Cekidot di foto2nya ya...