Kamis, 29 Maret 2012

Everyone has their own "cup of tea" -Sebuah Refleksi-

Kaum intelektual yang terus terdiam dalam keadaan yang mendesak, telah melunturkan semua kemanusiaanya— Soe Hok Gie




Semenjak kuliah, saya paling tidak suka dengan kegiatan "demo", apapun bentuk dan tujuannya. Menurut saya, aspirasi tidak perlu dilakukan dengan cara yang brutal. Demo memang memiliki konotasi negatif di dalam pikiran saya, karena pada kenyataannya banyak yang merugikan, seperti merusak fasilitas umum, dll, apalagi kemarin saya lihat diberita sampai menduduki bandara. Saat kuliah, kegiatan yang lebih "make sense" untuk mahasiswa bagi saya adalah kegiatan yang real yang langsung bersentuhan dengan masyarakat, misalnya baksos dll.

Menurut pandangan saya, mahasiswa itu banyak yang cerdas, jadi seharusnya demo adalah kegiatan untuk memberikan saran yang membangun dengan cara yang lebih intelektual, kemudian belajar yang serius, sehingga saat lulus nanti bisa menduduki posisi yang strategis, lalu bangunlah negeri ini. Jangan malah ninggalin kuliahnya cuma untuk ngurusin kegiatan sana sini. Kalau dilakukan seperti itu saya yakin negara bisa jadi lebih baik lagi.

Pertanyaannya skrg adalah,kemana aktivis2 setelah mereka lulus? Apakah mereka tetap memperjuangkan hal-hal yang dulu mereka suarakan? Apakah idealisme mereka tetap ada di dunia kerja mereka? Tidak tahu berdasar pada apa, tapi saya yakin ada orang-orang yang dulunya menjadi pendemo, pada akhirnya menjadi orang yang didemo. Dengan kata lain, idealisme akan luntur dengan kenyataan hidup (menjadi lebih realistis). Jadi, kemana idealisme pasca kehidupan kampus?

Aksi demo dalam beberapa hari belakangan ini menarik perhatian saya. Saya sadar, segala bentuk tindakan dan kemana perginya idealisme mereka seharusnya tidak membuat saya menjadi hakim atas para aktivis-aktivis kampus. Toh saya pun tidak lebih baik dari mereka. Saya tidak menyangkal bahwa demonstrasi mahasiswa telah memberikan perubahan di bangsa ini, mulai dari jaman penjajahan, orde baru, sampai era reformasi.

Apa yang mereka perjuangkan pun hasilnya akan memberikan pengaruh kepada saya dan rakyat lain yang tidak melakukan tindakan demonstrasi. Saya sedih membaca bbm yang memprotes aksi demo kemarin. Kenapa sedih? Bukannya gak suka sama demo ya?

Yup benar, saya memang tidak suka dengan demo, tapi saya berusaha untuk memahami pikiran para demonstran (walaupun tidak 100%). Saya yakin dari para demostran banyak yang sungguh2 memiliki tujuan yang mulia saat melakukan aksi tersebut. Saya sebut mulia karena mereka memperjuangkan kepentingan kita juga sebagai rakyat yang sama. Saya sedih karena sepertinya rakyat berseteru dengan rakyat sendiri. Saya pun setuju bahwa demo tidak boleh merusak kepentingan umum.


Yang menjadi refleksi saya adalah,

Sekarang, Apa bagian saya dalam perjuangan bangsa ini?

Saya tidak ingin menjadi hakim yang memberikan penilaian sana sini tanpa berbuat apa-apa. Oke mereka salah karena melakukan tindakan yang merugikan kepentingan umum, walaupun mereka sedang memperjuangkan kepentingan bersama. Lalu, apakah kita menjadi terkesan lebih baik dengan tidak melakukan perbuatan yang dilakukan oleh para demonstran?

Masing-masing kita memiliki minat yang berbeda dalam memperjuangkan bangsa ini dan dengan cara yang berbeda-beda pula. Kiranya refleksi itu juga menjadi refleksi bagi rekan-rekan yang membacanya. Hanya kita sendirilah yang tau jawabannya.

Hal yang menyedihkan adalah, ketika para pemuda tidak memiliki minat apa-apa dalam perjuangan bangsa ini dan merasa nyaman dengan keadaannya sekarang, apalagi menjadi pengkritik sosial tanpa tindakan.




Refleksi saya dipengaruhi oleh beberapa quote yang berasala dari Soe Hok Gie, semoga menginspirasi

Sumber:
http://justforsoehokgie.tumblr.com/
http://www.goodreads.com/author/quotes/659620.Soe_Hok_Gie

“Tapi sekarang aku berpikir sampai di mana seseorang masih tetap wajar, walau ia sendiri tidak mendapatkan apa-apa. seseorang mau berkorban buat sesuatu, katakanlah, ide-ide, agama, politik atau pacarnya. Tapi dapatkah ia berkorban buat tidak apa-apa


“Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”


“Aku kira dan bagiku itulah kesadaran sejarah. Sadar akan hidup dan kesia-siaan nilai.”


"Pertanyaan pertama yang harus kita jawab adalah: Who am I? Saya telah menjawab bahwa saya adalah seorang intelektual yang tidak mengejar kuasa tapi seorang yang ingin mencanangkan kebenaran. Dan saya bersedia menghadapi ketidak-populeran, karena ada suatu yang lebih besar: kebenaran."


"Saya tidak tahu masa depan saya. Sebagai orang yang berhasil? Sebagai orang yang gagal terhadap cita-cita idealisme? Lalu tenggelam dalam waktu dan usia? Sebagai orang yang kecewa dan lalu mencoba meneror dunia? Atau sebagai orang yang gagal tapi dengan penuh rasa bangga tetap menatap matahari yang terbit? Saya ingin coba mencintai semua. Dan bertahan dalam hidup ini."


"Kalau kau tak sanggup menjadi beringin yang tegak di puncak bukit, jadilah saja belukan, tapi belukan terbaik yang tumbuh di tepi danau. Kalau kau tak sanggup menjadi belukan, jadilah saja rumput, tapi rumput yang memperkuat tanggul pinggiran jalan. Tidak semua jadi kapten, tentu harus ada awak kapalnya. Bukan besar kecilnya tugas yang menjadikan tinggi rendahnya nilai dirimu. Jadilah saja dirimu, sebaik-baiknya dirimu sendiri."